Kehilangan dan Kematian yang Patut Dihargai

alifia nurfajri henia
4 min readApr 1, 2023

--

Bulan baru, cerita baru!

Tepat di hari Kamis lalu, saya akhirnya memutuskan untuk membeli tiket konser Layar Terkembang yang dipersembahkan oleh musisi dan antropolog favorit saya, Rara Sekar. Melalui projek musiknya yang bertajuk hara konser ini adalah perhentian terakhir dari rangkaian tur Kenduri yang telah berjalan sejak 2022. Sayangnya, saya belum berkesempatan untuk menontonnya di rangkaian tur terdahulu. Sampai akhirnya saya merasa kalau tahun ini sudah diberi waktu yang tepat. Kenapa? Sederhananya karena saya sudah tepat berada di — , dan kebetulan tempat tinggal saya dekat dengan tempat berlangsungnya konser.

Sebelum konser dimulai, saya benar-benar ga bisa dibuat berhenti kagum dengan pemandangan yang ada di depan mata. Mulai dari pemilihan tempat, kolaborator, dan pastinya lokasi panggung yang selaras dengan alam. Selain itu, konser ini juga turut dimeriahkan dengan adanya “Pasar Kaget” bersama para jenama lokal yang terdiri dari kelompok seniman, penggiat toko buku, fesyen, rumah makan, dan studio foto dari Jogjakarta. Dan yang paling menarik, berakhirnya konser tadi pagi justru menjadi kegiatan komunal yang intimate melalui paket tur jalan kaki di sekitar venue, yakni di Ruas Bambu Nusa. Sayangnya, saya gugur kehabisan untuk slot tur tersebut.

Konser di gongkan ketika lagu Tambang Tandur dimainkan. Di momen ini saya ga bisa melepaskan pandangan selain ke panggung. Selama hara melantunkan lagu-lagunya, permainan musik terbagi menjadi 3 babak dengan total 10 lagu (semoga ga salah hitung ya) untuk menemani penonton memahami lebih dalam makna dari setiap lagunya. Kesyahduan petikan gitar hara dan nuansa string quartet semakin bertambah dengan aliran sungai dan orkestra cicadas. Bahkan, cahaya matahai bermain alami menghadap ke panggung. Seolah-olah cahaya matahari tanpa arahan berhasil menyoroti satu kursi hara sendiri. Sungguh, itu cantik banget momennya! Selanjutnya, memasuki durasi pertunjukkan hampir melewati 120 menit, awan gelap sempat membuat saya bimbang jika tiba-tiba air hujan membasahi panggung dan seluruh pengisinya. Untungnya, hujan baru turun setelah hara berhasil menutup lagu terakhirnya.

Kak Rara, aura dan wajah kamu cantik banget!

Mungkin saya ga akan menjelaskan pengalaman menonton konser yang begitu spesifik di sini. Namun saya mau membagikan apa yang saya pahami dari alasan Rara Sekar menuliskan lagu-lagu untuk projek hara. Tentunya, setiap orang punya versinya sendiri. Boleh ya saya cerita sedikit versi saya?

Bagi saya, lagu Kebun Terakhir menyisihkan sentimen untuk mengolah makna hubungan saya (manusia) dengan alam. Tentu saya bukan orang yang tepat untuk menjawab isu tersebut. Namun keberpihakan saya untuk dapat memperbaiki alam kembali pada hakikatnya menjadi prioritas dalam beberapa waktu ke belakang.

Di suatu pagi ketika berjalan di sekitar kos saya, di daerah Kaliurang Jogja, pemandangan yang tampak jelas selain Gunung Merapi di utara adalah kebun yang bersebelahan engan rumah-rumah warga sekitar. Entah itu ditanam untuk jenis sayur daun, bunga, buah, maupun akar, selalu terdapat sisi tumbak yang berwarna hijau dan cokelat. Kebun hijau menandakan kesuburan bahwa ia siap untuk dipanen dan cokelat menandakan kehilangan yang juga siap kembali untuk ditandur. Hakikatnya, tidak ada lagi yang bisa dipahami selain mengatakan, “itulah siklus berkebun”.

Namun semakin diamati, berkebun mungkin bisa jadi kegiatan yang membantu saya memperbaiki hubungan saya dengan alam suatu saat nanti. Dengan memahami siklus berkebun, mungkin saya bisa jadi mengenali tanda waktu untuk mempersiapkan masa baru. Sama seperti kehidupan yang kadang-kadang bikin cenat cenuh sampai otak ga bisa berhenti nyanyi oh my oh my God dan neoppuniya, mengenali momen-momen tidak terduga di setiap harinya, seperti kabar kehilangan dan duka, membuat saya belajar kembali berdiri menangguhkan kehidupan. Meski tidak bisa juga dibilang dengan “move on”, jika sesekali merangkulnya ke dalam diri mungkin bisa menjadi keberartian hubungan saya dengan apapun yang hilang dan berpulang itu. Sejujurnya, selain lagu Kebun Terakhir, Arumdalu menjadi penutup yang manis saat saya (akhirnya) menangis ketika mengingat momen kelut itu. Seolah ditepuk oleh bahu sembari diingatkan bahwa:

tiada doa selain bahagia, kuserahkan semuanya disana

Intinya, siklus berkebun itu terus berputar. Tanpa pemberhentian, tanpa permintaan. Kegiatan berkebun ‘meminta’ mereka yang menjalaninya dengan segala yang dipunya. Mungkin, semangat?

Latar panggung yang unik ya?

Sebagai penutup, menonton pertunjukkan musik hara dan bisa berbicara singkat dengan Rara Sekar secara empat mata, akan menjadi memoria baru yang mengakar di dalam hidup saya. Kalau mau tau, apa yang saya ‘oborolin’ adalah, saya menjadikan tulisan riset nya sebagai referensi di tulisan skripsi saya setahun yang lalu yang membahas creative freelancer. Eh, emang beneran tepat ya tahun ini saya berkesempatan nonton konsernya?

--

--